Senin, 13 Oktober 2014

pesantren sebagai basis ilmu dan asimilasi budaya





PESANTREN SEBAGAI BASIS ILMU
DAN ASIMILASI BUDAYA
Oleh, Mahmud Suyuti
Penulis Pernah Nyantri di Pesantren selama Tujuh Tahun,


Pesantren adalah lembaga pendidikan Islam tertua yang merupakan produk budaya Indonesia. Tidak sedikit pendapat yang menyatakan bahwa pesantren sudah ada pada masa awal penyebaran Islam di nusantara, abad ke-13 sampai 17 M, dan sesudahnya yakni abad ke-18 M seterusnya sebagai masa kematangan Islam, eksistensi pesantren semakin matang perkembangannya. Data Statistik Direktorat Jenderal Pendidikan Islam tahun 2011 sekarang ini, menunjukkan terdapat sekitar 24 ribu Pondok Pesantren yang tersebar di seluruh Indonesia.
Asal kata pesantren adalah 'santri' diawali 'pe' akhiran 'an', tertulis 'pesantrian' dan untuk memudahkan penyebutannya diucapkan 'pesantren'. Asal kata 'santri' adalah 'sastri' (bahasa Hindu) artinya 'ahli kitab suci agama Hindu' dengan asimilasi bahasa ke-Indonesiaan dan untuk membedakan pengertiannya maka dikata kanlah 'santri' artinya 'ahli kitab suci agama Islam', yang secara terminologisnya adalah 'orang yang fokus belajar tentang ilmu pengetahuan agama Islam'. Orang yang fokus belajar, dia harus konsen sehingga santri mutlak memiliki pondok, dan kiai (ulama) sebagai guru spiritual. Inilah ciri khas pesantren sekaligus membedakannya dengan lembaga pendidikan Islam lainnya. Para santri harus tinggal di pondok, mereka makan bersama, mengaji, berzikir, berdoa, dan shalat berjamaah, mengikuti pengajian secara rutin setelah shalat magrib, isya, shubuh, di tengah malam mereka tahajjud. Di area pondok pesantren, ada rumah kiai dan sederetan rumah-rumah guru yang diantarai mesjid serta bangunan lain seperti pendopo, ruang kelas, perpustakaan, kantor, kantin, toko. Di sinilah, santri dan kiai serta guru/ustaz menjalin hubungan secara erat, mengutamakan kesederhanaan, keikhlasan, tolong menolong, dan pengorbanan demi agama, memanfaatkan waktu belajar dan mengajar secara intensif. Muatan kurikulum pelajarannya terdiri atas dua kategori, berbasis sekolah dan pesantren. Yang berbasis sekolah diatur dengan sistem klasikal di madrasah yang alokasi waktunya jam 07.00 sampai 12.00. Di sinilah santri mengikuti mata pelajaran sesuai standar kurikulum nasional seperti matematika, fisika, biologi, IPS, IPA, sejarah, bahasa Indonesia, bahasa Inggris, dan pelajaran agama layaknya sekolah umum. Yang berbasis pesantren diatur dengan sistem halaqah di mesjid atau di rumah kiai dengan cara santri duduk bersilah melingkar menghadap kiai mengikuti pengajian (ngaji tudang [Bugis] atau angngaji mempo [Makassar]). Kitab pengajian yang digunakan adalah al-kutub al-shafrā (kitab 'kuning'), lazimnya disebut kitab 'gundul' karena isinya berbahasa Arab tanpa baris-harakat. Jenis kitab inilah yang diajarkan di pesantren seperti kitab tafsir Jalālayn, kitab hadis Riyād al-Slihīn, kitab fiqih Kifāyah al-Akhyār, kitab akhlak tasawuf Ihyā ’Ulūm al-Dīn. Kitab-kitab ini diajarkan dengan metode sorogan dan atau bandongan sebagai metode pengajaran yang merupakan warisan Nabi saw. Pada metode sorongan, santri membacakan kitab di hadapan kiai, dan kiai menyimak sambil mem-berikan masukan-masukan hal yang dianggap penting kemudian dicatat oleh santri. Bandongan, para santri menyimak bacaan dan penjelasan kiai lalu mencatatnya. Selain itu, sistem al-mahfūzhāt atau metode hafalan menjadi ciri khas pengajaran di pesantren. Santri diharuskan menghafal ayat-ayat Al-Qur’an, hadis, kaidah-kaidah usuliyyah dan fiqhiyah. Diterapkan pula sistem bahśul al-masāil atau metode diskusi sehingga santri tidak hanya berdiam diri dengan menerima sejumlah informasi tanpa ada ruang untuk menyoalnya, malah dengan diskusi itu para santri bisa saling menguji kemahiran, saling membantu memberikan pemahaman mengenai kitab kuning yang sedang dan akan dipelajarinya.
Kehadiran pesantren di tengah-tengah masyarakat di samping sebagai basis ilmu umum layaknya sekolah dan sebagai "rahim" ilmu-ilmu agama, juga sebagai pusat asimilasi budaya (cultural central) Islam sebab sejak awal kehadiran pesantren ternyata mampu mengadaptasikan diri dengan tradisi dan adat istiadat masyarakat yang bagi masyarakat kita disebut budaya pangngaderreng [Bugis] atau pangngadakkang [Makassar]. Khas budaya inilah yang bertahan di pesantren sampai saat ini. Ciri khas santri yang akrab dengan kesabaran, ketabahan, kejujuran, dan keikhlasan mengikuti segala aturan pondok, selain merupakan ajaran Islam, juga menjadi simbol warisan budaya kita yang dalam metafora lontarak disebutkan, antu pokokna gauka mabajika ampoempoi gauka ribatena sabbaraka, lewai pammaik na tambung (yang dikatakan perbuatan terpuji, menundukkan sifat kesabaran, ketabahan, dan keikhlasan). Demikian pula ciri khas santri yang akrab dengan penggunaan kopyah-songkok-passapu, baju gamis-koko, dan sarung-lipa menjadi simbol keislaman yang bertahan sebagai warisan budaya masa lalu.
Songkok, bahannya dari urat/serat daun lontar yang dianyam bentuknya bulat. Apabila dipinggirannya dianyami dengan benang emas, disebut nibirin, tebal-tipis pinggiran emas mempunyai nilai-nilai tertentu yang menunjukkan status sosial pemakainya. Songkok tanpa pinggiran emas yang disebut songkok guru, adalah kopyah yang digunakan santri sebagai simbol ketawadhu’an. Baju yang digunakan para santri pun disyaratkan putih, terutama pada hari jumat sebagai simbol kebersihan lahir batin, kejernian hati, kesucian iman, sebab warna baju bagi masyarakat Bugis-Makassar memiliki makna tertentu. Khusus untuk perempuan dengan baju bodo-nya, hitam melambangkan wanita tergolong tua, hijau bagi putri bangsawan, merah tua untuk orang yang sudah kawin, merah lombok sebagai simbol gadis remaja dan perawan, ungu menandakan bahwa dia janda. Selanjutnya lipa (sarung) terdiri atas dua jenis, yakni lipa garusuk yang asal bahan nya benang, dan lipa attallasa-lipa’ sabe yang sering digunakan bangsawan, namun bagi santri lebih doyan dengan lipa garusuk sebagai simbol kesederhanaan. Di tengah masyarakat Bugis-Makassar kerap terlihat seorang laki-laki gulungan sarungnya (bida’) turun ke bawah, sehingga sewaktu-waktu harus digulung kembali. Bagi orang lain yang tidak tahu-menahu apa maksudnya, tentu dalam pikirannya heran karena menurutnya cara seperti itu tidak praktis. Namun, sebenarnya itu mempunyai maksud-maksud tertentu. Apabila kita sedang berdiri dan memakai sarung kemudian didatangi oleh orang terhormat, gulungan sarung itu (bida’) dinaikkan sedikit sebagai tanda penghormatan walaupun tidak diucapkan dengan perkataan. Jadi bila pada  umumnya santri  memakai sarung  seolah-olah serampangan saja,  itu tidaklah mengherankan karena salah satu patokan berpakaiannya adalah budaya 'solla', pila’ masollami solia, pila’ nampami mabaji’ (yang karena kesederhanaan itulah yang menambah kepiawaian kebajikan). Nabi saw juga pernah bersabda, khaerul umūr awsatuhā (sebaik-baik kehidupan adalah kesederhanaan).
Dalam lingkungan pesantren, ditemukan pula bagaimana santri menghormati kiainya. Saat berjabat dengan cara mencium tangan sang kiai, merupakan sikap pangngalik (menghormati) sebagai salah satu wujud budaya sipakatau. Masyarakat Bugis-Makassar sejak dahulu menghormati seseorang dengan cara gerakan demikian. Apabila orang yang dihormati lewat di depan kita, maka kita dan orang berdiri (hadir) di tempat itu akan menggerakkan badannya, misalnya mundur ke belakang sedikit atau memindah kan kakinya yang kiri atau yang kanan. Dengan gerakan itu cukuplah sebagai tanda penghormatan, walaupun tidak diucapkan dengan perkataan. Juga misalnya, jika seseorang sedang jongkok kemudian lewat orang yang harus dihormati, maka ia harus berdiri sebentar, ataupun kalau kita sedang duduk bersilah dalam sebuah tempat kemudian datang tamu yang pada tempatnya harus dihormati, maka kita tidak perlu berdiri, cukuplah dengan mengadakan suatu gerakan, misalnya dengan menegakkan badan sedikit ke belakang. Gerakan seperti itu menandakan suatu penghormatan.
Jelaslah bahwa pesantren sebagai basis keilmuan telah mengakar kuat bersamaan dengan kuatnya budaya masyarakat sejak masa lalu, sampai masa kini, yang tentu saja prospeknya untuk masa mendatang sangat menjanjikan. Namun sebuah pertanyaan, kenapa pada tahun-tahun terakhir ini minat untuk masuk pesantren merosot drastis? Apa sebab orang-orang tua lebih meng"iya"kan anak-anaknya melanjutkan pendidikan ke sekolah umum ketimbang memilih pesantren? apa sebenarnya yang menjadi kekurangan pesantren? padahal kelebihan, keistimewaan, dan keunggulannya sangat banyak, yakni: Pertama, sistem pondoknya yang memungkinkan pendidik (kiai, guru, ustaz) melakukan tuntunan dan pengawasan langsung pada santrinya. Kedua, keakraban antar santri dan pendidik yang sangat kondusif bagi pemerolehan pengetahuan secara bersahaja. Ketiga, kesederhanaan pola-gaya hidup komunitas pesantren yang ber'adab' dan ber'adat'. Kelima, murahnya biaya pendidikan pesantren namun dijamin mutu dan kualitasnya, terbukti alumninya (jika) disamping memiliki pekerjaan pokok, juga dapat menjadi dai-muballig di tengah-tengah masyarakat, ini karena keenam, selain pesantren mengajarkan ilmu umum, eksakta dan non eksakta, plus dominan ilmu agama.
Sabda Nabi saw., man arādad dunyā fa’alayhi bil ‘ilmi, waman arādal akhīrah fa’alayhi bil ilmi, waman arādahuma fa’alayhi bil ilmi (barang siapa menghendaki dunia baginya menguasai ilmu dunia, barang siapa menghendaki akhirat baginya ilmu akhirat, dan barang siapa menghendaki keduanya baginya menguasai ilmu dunia dan akhirat). Sahabat Nabi saw., Abū Bakar ash-Shiddiq berkata, man dakhala al-qabra bilā zādin faka’annamā rakiba al-bahra bila safinatin, ma huw zādin? al-’ilm., min ayna wusilah al-’ilm? Kuttāb ! (barang siapa masuk kubur tanpa membawa bekal, maka seakan-akan dia mengarungi lautan tanpa perahu. Bekal itu apa? adalah ilmu., dari mana ilmu itu diperoleh? dari pesantren !.

Wallahul Muwaffiq Ilā Aqwamit Thariq…