PESANTREN SEBAGAI BASIS ILMU
DAN
ASIMILASI BUDAYA
Oleh, Mahmud
Suyuti
Penulis Pernah Nyantri di Pesantren selama Tujuh Tahun,
Pesantren adalah lembaga
pendidikan Islam tertua yang merupakan produk budaya Indonesia. Tidak sedikit
pendapat yang menyatakan bahwa pesantren sudah ada pada masa awal penyebaran
Islam di nusantara, abad ke-13 sampai 17 M, dan sesudahnya yakni abad ke-18 M
seterusnya sebagai masa kematangan Islam, eksistensi pesantren semakin matang
perkembangannya. Data Statistik
Direktorat Jenderal Pendidikan Islam tahun 2011 sekarang ini, menunjukkan
terdapat sekitar 24 ribu Pondok Pesantren yang tersebar di seluruh Indonesia.
Asal kata pesantren adalah 'santri' diawali
'pe' akhiran 'an', tertulis 'pesantrian' dan untuk memudahkan penyebutannya
diucapkan 'pesantren'. Asal kata 'santri' adalah 'sastri' (bahasa Hindu)
artinya 'ahli kitab suci agama Hindu' dengan asimilasi bahasa ke-Indonesiaan
dan untuk membedakan pengertiannya maka dikata kanlah 'santri' artinya 'ahli
kitab suci agama Islam', yang secara terminologisnya adalah 'orang yang fokus
belajar tentang ilmu pengetahuan agama Islam'. Orang yang fokus belajar, dia
harus konsen sehingga santri mutlak memiliki pondok, dan kiai (ulama) sebagai
guru spiritual. Inilah ciri khas
pesantren sekaligus membedakannya dengan lembaga pendidikan Islam lainnya.
Para santri harus tinggal di pondok, mereka makan bersama, mengaji, berzikir,
berdoa, dan shalat berjamaah, mengikuti pengajian secara rutin setelah shalat
magrib, isya, shubuh, di tengah malam mereka tahajjud. Di area pondok pesantren, ada rumah kiai dan sederetan
rumah-rumah guru yang diantarai mesjid serta bangunan lain seperti pendopo,
ruang kelas, perpustakaan, kantor, kantin, toko. Di sinilah, santri dan kiai
serta guru/ustaz menjalin hubungan secara erat, mengutamakan kesederhanaan,
keikhlasan, tolong menolong, dan pengorbanan demi agama, memanfaatkan waktu
belajar dan mengajar secara intensif. Muatan kurikulum pelajarannya terdiri
atas dua kategori, berbasis sekolah dan pesantren. Yang berbasis sekolah diatur
dengan sistem klasikal di madrasah yang alokasi waktunya jam 07.00 sampai
12.00. Di sinilah santri mengikuti mata pelajaran sesuai standar kurikulum
nasional seperti matematika, fisika, biologi, IPS, IPA, sejarah, bahasa
Indonesia, bahasa Inggris, dan pelajaran agama layaknya sekolah umum. Yang
berbasis pesantren diatur dengan sistem halaqah di mesjid atau di rumah
kiai dengan cara santri duduk bersilah melingkar menghadap kiai mengikuti
pengajian (ngaji tudang [Bugis] atau angngaji mempo [Makassar]).
Kitab pengajian yang digunakan adalah al-kutub al-shafrā (kitab
'kuning'), lazimnya disebut kitab 'gundul' karena isinya berbahasa Arab tanpa
baris-harakat. Jenis kitab inilah yang diajarkan di pesantren seperti kitab
tafsir Jalālayn, kitab hadis Riyād al-Shālihīn, kitab fiqih Kifāyah al-Akhyār, kitab akhlak tasawuf Ihyā ’Ulūm al-Dīn. Kitab-kitab ini
diajarkan dengan metode sorogan dan atau bandongan
sebagai metode pengajaran yang merupakan warisan Nabi saw. Pada metode sorongan,
santri membacakan kitab di hadapan kiai, dan kiai menyimak sambil
mem-berikan masukan-masukan hal yang dianggap penting kemudian dicatat oleh
santri. Bandongan, para santri menyimak bacaan dan penjelasan kiai lalu
mencatatnya. Selain itu, sistem al-mahfūzhāt atau metode hafalan menjadi
ciri khas pengajaran di pesantren. Santri diharuskan menghafal ayat-ayat
Al-Qur’an, hadis, kaidah-kaidah usuliyyah dan fiqhiyah. Diterapkan pula sistem bahśul
al-masāil atau metode diskusi sehingga santri tidak hanya berdiam
diri dengan menerima sejumlah informasi tanpa ada ruang untuk menyoalnya, malah
dengan diskusi itu para santri bisa saling menguji kemahiran, saling membantu
memberikan pemahaman mengenai kitab kuning yang sedang dan akan dipelajarinya.
Kehadiran pesantren di
tengah-tengah masyarakat di samping sebagai basis ilmu umum layaknya sekolah
dan sebagai "rahim" ilmu-ilmu agama, juga sebagai pusat asimilasi
budaya (cultural central) Islam sebab sejak awal kehadiran
pesantren ternyata mampu mengadaptasikan diri dengan tradisi dan adat istiadat
masyarakat yang bagi masyarakat kita disebut budaya pangngaderreng
[Bugis] atau pangngadakkang [Makassar]. Khas budaya inilah yang bertahan
di pesantren sampai saat ini. Ciri khas santri yang akrab dengan kesabaran, ketabahan,
kejujuran, dan keikhlasan mengikuti segala aturan pondok, selain merupakan
ajaran Islam, juga menjadi simbol warisan budaya kita yang dalam metafora
lontarak disebutkan, antu pokokna gauka mabajika ampoempoi gauka ribatena
sabbaraka, lewai pammaik na tambung (yang dikatakan perbuatan terpuji,
menundukkan sifat kesabaran, ketabahan, dan keikhlasan). Demikian pula ciri
khas santri yang akrab dengan penggunaan kopyah-songkok-passapu,
baju gamis-koko, dan sarung-lipa menjadi simbol keislaman yang
bertahan sebagai warisan budaya masa lalu.
Songkok, bahannya dari urat/serat daun lontar
yang dianyam bentuknya bulat. Apabila dipinggirannya dianyami dengan benang
emas, disebut nibirin, tebal-tipis pinggiran emas mempunyai nilai-nilai
tertentu yang menunjukkan status sosial pemakainya. Songkok tanpa
pinggiran emas yang disebut songkok guru, adalah kopyah yang digunakan
santri sebagai simbol ketawadhu’an. Baju yang digunakan para santri pun
disyaratkan putih, terutama pada hari jumat sebagai simbol kebersihan lahir
batin, kejernian hati, kesucian iman, sebab warna baju bagi masyarakat
Bugis-Makassar memiliki makna tertentu. Khusus untuk perempuan dengan baju bodo-nya,
hitam melambangkan wanita tergolong tua, hijau bagi putri bangsawan, merah tua
untuk orang yang sudah kawin, merah lombok sebagai simbol gadis remaja dan
perawan, ungu menandakan bahwa dia janda. Selanjutnya lipa (sarung)
terdiri atas dua jenis, yakni lipa garusuk yang asal bahan nya benang,
dan lipa attallasa-lipa’ sabe yang sering digunakan bangsawan, namun
bagi santri lebih doyan dengan lipa garusuk sebagai simbol
kesederhanaan. Di tengah masyarakat Bugis-Makassar
kerap terlihat seorang laki-laki gulungan sarungnya (bida’) turun ke
bawah, sehingga sewaktu-waktu harus digulung kembali. Bagi orang lain yang
tidak tahu-menahu apa maksudnya, tentu dalam pikirannya heran karena menurutnya
cara seperti itu tidak praktis. Namun, sebenarnya itu mempunyai maksud-maksud
tertentu. Apabila kita sedang berdiri dan memakai sarung kemudian didatangi
oleh orang terhormat, gulungan sarung itu (bida’) dinaikkan sedikit
sebagai tanda penghormatan walaupun tidak diucapkan dengan perkataan. Jadi bila
pada umumnya santri memakai sarung seolah-olah serampangan saja, itu tidaklah mengherankan karena salah satu
patokan berpakaiannya adalah budaya 'solla', pila’ masollami solia, pila’
nampami mabaji’ (yang karena kesederhanaan itulah yang menambah
kepiawaian kebajikan). Nabi saw juga pernah bersabda, khaerul umūr awsatuhā (sebaik-baik kehidupan adalah
kesederhanaan).
Dalam
lingkungan pesantren, ditemukan pula bagaimana santri menghormati kiainya. Saat
berjabat dengan cara mencium tangan sang kiai, merupakan sikap pangngalik
(menghormati) sebagai salah satu wujud budaya sipakatau. Masyarakat
Bugis-Makassar sejak dahulu menghormati seseorang dengan cara gerakan demikian.
Apabila orang yang dihormati lewat di depan kita, maka kita dan orang berdiri
(hadir) di tempat itu akan menggerakkan badannya, misalnya mundur ke belakang
sedikit atau memindah kan kakinya yang kiri atau yang kanan. Dengan gerakan itu
cukuplah sebagai tanda penghormatan, walaupun tidak diucapkan dengan perkataan.
Juga misalnya, jika seseorang sedang jongkok kemudian lewat orang yang harus
dihormati, maka ia harus berdiri sebentar, ataupun kalau kita sedang duduk
bersilah dalam sebuah tempat kemudian datang tamu yang pada tempatnya harus
dihormati, maka kita tidak perlu berdiri, cukuplah dengan mengadakan suatu
gerakan, misalnya dengan menegakkan badan sedikit ke belakang. Gerakan seperti
itu menandakan suatu penghormatan.
Jelaslah
bahwa pesantren sebagai basis keilmuan telah mengakar kuat bersamaan dengan
kuatnya budaya masyarakat sejak masa lalu, sampai masa kini, yang tentu saja
prospeknya untuk masa mendatang sangat menjanjikan. Namun sebuah pertanyaan, kenapa
pada tahun-tahun
terakhir ini minat untuk masuk pesantren merosot drastis? Apa sebab orang-orang
tua lebih meng"iya"kan anak-anaknya melanjutkan pendidikan ke sekolah
umum ketimbang memilih pesantren? apa sebenarnya yang menjadi kekurangan pesantren?
padahal kelebihan, keistimewaan, dan keunggulannya sangat banyak, yakni: Pertama, sistem pondoknya yang memungkinkan
pendidik (kiai, guru, ustaz) melakukan tuntunan dan pengawasan langsung pada
santrinya. Kedua, keakraban antar santri dan pendidik yang sangat
kondusif bagi pemerolehan pengetahuan secara bersahaja. Ketiga, kesederhanaan
pola-gaya hidup komunitas pesantren yang ber'adab' dan ber'adat'. Kelima,
murahnya biaya pendidikan pesantren namun dijamin mutu dan kualitasnya,
terbukti alumninya (jika) disamping memiliki pekerjaan pokok, juga dapat
menjadi dai-muballig di tengah-tengah masyarakat, ini karena keenam, selain
pesantren mengajarkan ilmu umum, eksakta dan non eksakta, plus dominan ilmu
agama.
Sabda
Nabi saw., man arādad dunyā fa’alayhi bil ‘ilmi, waman arādal akhīrah
fa’alayhi bil ilmi, waman arādahuma fa’alayhi bil ilmi (barang siapa
menghendaki dunia baginya menguasai ilmu dunia, barang siapa menghendaki
akhirat baginya ilmu akhirat, dan barang siapa menghendaki keduanya baginya
menguasai ilmu dunia dan akhirat). Sahabat Nabi saw., Abū Bakar ash-Shiddiq berkata, man
dakhala al-qabra bilā zādin faka’annamā rakiba al-bahra bila safinatin, ma
huw zādin? al-’ilm., min ayna wusilah al-’ilm? Kuttāb ! (barang siapa masuk
kubur tanpa membawa bekal, maka seakan-akan dia mengarungi lautan tanpa perahu.
Bekal itu apa? adalah ilmu., dari mana ilmu itu diperoleh? dari pesantren !.